Magspot Blogger Template

Picu 5.626 Kasus Keracunan, CISDI Mendesak Presiden Prabowo segera Moratorium dan Evaluasi Menyeluruh Program MBG


Jakarta - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan sementara atau memoratorium program Makan Bergizi Gratis (MBG) secara menyeluruh. Lebih dari 5.000 kasus keracunan makanan yang masih dialami siswa dan guru di berbagai daerah merupakan alarm yang mengindikasikan program ini perlu dievaluasi total.
Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih mengatakan, kasus keracunan akibat MBG ibarat fenomena puncak gunung es. Angka jumlah kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih banyak karena pemerintah sejauh ini belum menyediakan dasbor pelaporan yang bisa diketahui publik.
"Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik," kata Diah, 19 September 2025.
CISDI mencatat, sejak diluncurkan pada 6 Januari 2025 hingga 19 September lalu, program MBG telah menyebabkan sedikitnya 5.626 kasus keracunan makanan di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi. Data ini diperoleh dari pemantauan pemberitaan, serta sumber informasi dari pernyataan resmi perwakilan Dinas Kesehatan di berbagai daerah.
Beberapa peristiwa keracunan bahkan ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) karena menimpa ratusan siswa. Kegiatan belajar menjadi lumpuh karena korban mesti dirawat di puskesmas maupun rumah sakit. Selain itu, keracunan massal menimbulkan beban biaya tak terduga yang dibebankan pada pemerintah daerah, untuk membayar penanganan keracunan di rumah sakit daerah atau swasta setempat. Hal ini tentu memberatkan para pemerintah daerah. Terlebih, alokasi anggaran transfer ke daerah juga berkurang 24,7 persen dari Rp 864,1 triliun (APBN 2025) menjadi Rp 650 triliun (RAPBN 2026).
Meski dirancang untuk meningkatkan status gizi penerima manfaat, namun MBG sejak awal tidak dipersiapkan secara matang dari aspek regulasi, keamanan pangan dan kecukupan nutrisi hingga monitoring dan evaluasi. Meski sudah berlangsung selama delapan bulan, program yang dijalankan terpusat oleh Badan Gizi Nasional (BGN) ini belum juga dilandasi oleh peraturan presiden sebagai payung hukum dan peraturan lainnya yang seharusnya tersedia. Dampaknya, tata kelola kelembagaan menjadi tidak jelas, dari koordinasi antar-kementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerja sama multipihak.
Diah mengatakan, absennya payung hukum MBG dan panduan teknis juga minimnya sistem pengawasan telah memicu berbagai macam persoalan di lapangan. Selain kasus keracunan akibat makanan tidak layak atau tidak higienis, menu MBG di banyak sekolah diwarnai produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula.
“Masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak dan remaja. Efeknya justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia,” ujar Diah.
Diah menambahkan, maraknya kasus keracunan serta masifnya produk pangan ultra-proses dalam menu MBG juga merupakan bentuk pelanggaran hak penerima manfaat program ini, khususnya anak usia sekolah. Karenanya, CISDI mendesak pemerintah memenuhi hak penerima manfaat program MBG untuk memperoleh makan bergizi yang aman dan berkualitas.
Agar evaluasi berjalan efektif, pemerintah harus memoratorium program MBG terlebih dahulu. Klaim pemerintah bahwa program ini dapat disempurnakan sembari berjalan terbukti gagal karena kasus keracunan terus berulang dan bertambah. Apabila pemerintah bersikukuh menjalankan MBG tanpa evaluasi total, dikhawatirkan kasus keracunan MBG akan terus terjadi dan mengancam kesehatan anak-anak. Sementara, upaya pemerintah untuk memulihkan hak anak yang menjadi korban keracunan masih belum jelas.
Paralel dengan moratorium MBG, CISDI juga mendorong pemerintah segera mengatasi persoalan transparansi dan akuntabilitas yang selama ini menghambat publik untuk terlibat mengawasi pelaksanaan program ini. 
“Sembari menjalankan moratorium, pemerintah perlu segera membuka kanal pelaporan dan memproses segera aduan publik sebagai langkah awal dari upaya pemulihan hak korban atas kerugian yang ditimbulkan dari kasus keracunan dan makanan yang tidak layak,” kata Diah.
Menurut Diah, akuntabilitas program MBG saat ini patut dipertanyakan. Dengan klaim telah berlangsung di 38 provinsi dengan jumlah penerima manfaat MBG diklaim mencapai 22 juta. Akan tetapi, angka tersebut tidak dapat diverifikasi karena minimnya informasi yang dapat diakses publik.
Serapan anggaran MBG per September 2025 hanya sebesar Rp 13,2 triliun. Angka ini setara 18,6 persen dari alokasi APBN untuk MBG sebesar Rp 71 triliun. Selain itu, isu potensi risiko korupsi juga menguat, sebagaimana laporan Transparency International Indonesia menunjukkan beberapa menu MBG tidak mencapai nilai rata-rata penerima manfaat sebesar Rp 10 ribu. Oleh karena itu, pemerintah harus serius membenahi perencanaan, penganggaran, dan kualitas belanja program MBG.
“Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita kembali menjadi korban keracunan akibat program yang direncanakan dan dijalankan tanpa perhitungan matang. Apalagi, Presiden Prabowo telah menambah anggaran MBG tahun depan hingga Rp 335 triliun di RAPBN 2026,” tutup Diah.


Silahkan tanggapi dengan komentar positif dan membangun

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال